Posts Tagged ‘rumah sakit’

bekerjaAku pernah bekerja di tiga tempat sekaligus! Hal ini sering aku ceritakan saat ada teman-teman yang kerjanya hanya di satu tempat tapi mengeluhnya udah kaya kerja 24 jam nggak ada istirahatnya. Bukan bermaksud pamer atau menyombong sih, tapi hanya sebagai bahan pemikiran untuk menyadarkan bahwa setiap orang yang mengalami kesulitan atau masalah, terutama dalam hal pekerjaan, ada orang lain yang mengalami kesulitan atau masalah lebih dari dirinya sendiri. Kalo kerja satu tempat saja dia sudah mengeluh nggak karuan, gimana yang menjalani kerja di tiga tempat?

Terus gimana tuh sebenarnya cara menjalani kerja di tiga tempat? Satu hal yang aku rasakan adalah sulit. Sulit menyesuaikan jadwal kerja, terutama karena tempat kerjanya saling berjauhan satu sama lain. Pekerjaan utamaku sebagai staf administrasi kantor di rumah sakit, tentu saja yang paling diutamakan. Dan untungnya ngantor yang ini selalu masuk pagi terus.

Jam tiga ada jadwal lagi, juga ngurus administrasi kantor dan beberapa hal lain yang berkaitan, di sebuah klinik. Ini sebenarnya sulit, selain jarak klinik ini sekitar 15 km dari rumah sakit, sering sekali aku nggak bisa cepat-cepat meninggalkan rumah sakit karena kerjaan yang belum selesai. Jadinya sering nyampai klinik udah jam empat, atau jam lima, atau bahkan sering juga ijin karena nggak bisa ninggalin keperluan. Di klinik ini jadwal pulangnya sebenarnya jam tujuh, tapi sama dengan yang di rumah sakit, sering ada kerjaan yang belum bisa ditinggal sehingga sering molor pulangnya.

Jam berikutnya agak longgar. Aku ada jadwal kerja di sebuah tempat servis dan kursus komputer. Sebenarnya tempat ini dekat dari rumahku, tapi dari klinik ke servisan ini sekitar 20 km, sehingga siklusnya melewati klinik dulu. Di sini kalo pas lagi sepi kerjaan, jam sepuluh malam udah bisa pulang. Tapi kalo nggak, misalkan masih nanggung gitu, ya sampai selesai atau sampai bosan karena nggak selesai-selesai.

Nah, kalo masalah jarak, dari rumah ke rumah sakit sekitar 10 km, dari rumah sakit ke klinik sekitar 15 km, dari klinik ke servisan sekitar 20 km, dari servisan ke rumah sekitar 200 m. Kalo ditotal sekitar 45 km lebih 200 m, atau bisa lebih dari itu. Tiap hari kerja ya siklus kerjanya muter begitu-begitu aja, tapi aku menikmati aja. Aku lebih merasakan kerja yang diselingi dolan-dolan, soalnya dengan jarak segitu, dari pagi sampai malam nggak putus, kalo nggak dinikmati malah jadi beban aja.

Makanya, buat yang kerja di satu tempat aja tapi rasanya udah kaya kerja keras 24 jam tanpa henti, kalo memang nggak bisa menikmati kerjanya, setidaknya juga perlu berpikir bahwa nggak kerja itu juga nggak enak lo. Udah dapat kerja (meskipun mengeluh terus) ya diusahakan dinikmati aja, tetap nyantai tapi nyerius, dan juga meniatkan kerja sebagai ibadah, agar kerja kita nggak sia-sia karena termakan keluhan terus.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya pada hari kiamat Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, ‘Hai Anak Adam, Aku Sakit, tetapi kamu tidak menjenguk-Ku.’ Dia berkata. ‘Wahai Rabb-ku, bagaimana saya menjenguk-Mu, padahal Engkau adalah Rabb semesta alam?!’ Dia berfirman, ‘Tidak tahukah kamu bahwa hamba-Ku, fulan, sakit, tetapi kamu tidak menjenguknya. Tidak tahukah kamu jika kamu menjenguknya, kamu akan mendapati Aku berada di sisi-Nya.’ (diriwayatkan oleh Muslim, no. 2569)

Hampir semua orang di Indonesia di manapun dia berada kebanyakan masih selalu menjenguk seseorang yang sakit, entah itu keluarga, kerabat, tetangga, teman, bahkan mungkin orang yang nggak kenal sekalipun, entah pula di rumah sakit atau di rumah. Bahkan yang sering terjadi di daerah pedesaan kalo ada yang sakit, mereka datang beramai-ramai rombongan bersama-sama. Si sakit pun, terkadang juga was-was kalo nggak dijenguk, kesannya dia nggak dianggap atau bahasa Jawanya ‘disatru’ oleh orang.

Hukum menjenguk orang sakit sendiri adalah kewajiban bagi orang yang diharapkan berkah (dari Allah datang lewat diri) nya, disunnahkan bagi orang yang memelihara kondisinya, dan mubah bagi mereka, dengan berbagai pertimbangan dasar hukum dari hadits dan penjelasan para ulama’ dalam berbagai kitab.

Di sisi lain, terlepas dari anjuran dan perintah untuk menjenguk orang sakit (bahkan yang sakitnya ringan sekalipun), si sakit juga sangat membutuhkan ketenangan dalam proses pemulihan. Mereka membutuhkan lebih banyak waktu istirahat selama dan setelah sakit tersebut. Kondisi orang sakit tentu saja beda dengan orang sehat. Jangan lupakan pula keluarga atau orang-orang yang merawat si sakit, tentunya mereka juga dalam kondisi yang beda dengan kondisi biasa.

Pastinya orang yang menjenguk si sakit menginginkan interaksi dengan si sakit atau keluarganya. Terkadang juga menjadi sebuah kerepotan tersendiri kalo harus menemani penjenguk (terutama penjenguk yang terlalu lama atau datang dalam waktu yang kurang tepat), karena penjenguk sendiri juga kurang memperhatikan waktu dan kondisinya. Misalnya di rumah sakit, saat penjenguk datang beramai-ramai menjenguk si sakit. Bisa jadi bukannya memberikan ketenangan, malah bisa mengakibatkan keramaian bukan hanya pasien dan keluarganya, tapi juga bagi pasien-pasien lain. Ada aturan di setiap rumah sakit yang membatasi penjenguk, tapi tetap saja banyak yang nggak diperhatikan.

Kalo si sakit pulang dari rumah sakit, bahkan bisa ditemui semacam ‘panitia penyambutan’ di rumah. Hal ini juga bisa mengurangi ketenangan yang dibutuhkan si sakit untuk istirahat setelah menjalani serangkaian terapi di rumah sakit. Bahkan bisa jadi keluarga si sakit yang harus memperhatikan dan meneruskan perawatan dari rumah sakit menjadi terganggu karena pastinya mereka juga perlu istirahat. Perawatan di rumah juga nggak kalah menyibukkan daripada di rumah sakit.

Lalu bagaimana menyikapi hal-hal seperti itu? Tentu saja ada tuntunan menjenguk orang sakit agar semua pihak mendapatkan hal-hal yang dibutuhkan. Untuk penjenguk terutama, mereka harus memperhatikan adab-adab menjenguk orang sakit, di samping mereka bisa memberikan dorongan moral dan semangat bagi si sakit. Menjenguk orang sakit jangan sampai terlalu lama (kecuali kalo si sakit senang berlama-lama), jangan sampai nggak kenal waktu. Karena sebab meringankan beban penyakit dari si sakit, jangan sampai pula penjenguk meminta si sakit untuk bercerita panjang lebar tentang kronologi sakitnya. Cukup hal-hal yang perlu aja, nggak perlu terlalu detail.

Penjenguk bisa menghibur dan memberi harapan sembuh bagi si sakit, itu adalah salah satu upaya memberikan dorongan semangat sembuh. Jangan sampai menakut-nakuti tentang penyakitnya, apalagi kalo pernah mengetahui orang lain dengan penyakit yang sama mengalami hal-hal yang buruk. Bukannya meringankan penderitaan, malah menambah beban pikiran. Penjenguk juga perlu memahami keluhan si sakit, meskipun mereka nggak paham bagaimana cara menangani keluhan tersebut.

Dan yang terpenting juga adalah penjenguk mendoakan si sakit agar diberikan kekuatan, ketabahan dan kesabaran dalam menghadapi penyakitnya. Tak lupa juga buat keluarga dan orang-orang yang merawatnya agar juga mendapat kekuatan dan ketabahan selama mendampingi si sakit.

Dengan memahami posisi dan kondisi si sakit dan keluarganya, maka penjenguk insya Allah mendapatkan barokah dari kunjungannya. Si sakit dan keluarganya juga mendapatkan doa dari penjenguknya, selain pahala karena memuliakan mereka sebagai tamu-tamunya. Dan yang utama adalah ukhuwah dan silaturahmi tetap berlanjut dengan saling menghormati keadaan satu sama lain, simpati dan empati.

Referensi:
1. Fatwa-Fatwa Kontemporer
2. Tuntunan Menjenguk Orang Sakit

membacaTidak banyak bank yang pernah aku datangi yang menyediakan bahan bacaan bagi para nasabahnya. Bahkan di antaranya tidak banyak pula bank yang menyediakan tempat duduk untuk para nasabahnya. Seringnya bank lebih mengorientasikan kepada bagaimana cara para nasabahnya mengantri daripada bagaimana cara para nasabahnya mengisi waktu untuk mengantri.

Pun di tempat-tempat lain, seperti di tempat-tempat pelayanan masyarakat lainnya. Tidak banyak yang menyediakan setidaknya koran atau majalah sebagai pengusir kebosanan bagi para konsumen yang sedang menunggu giliran dieksekusi. Untungnya salah satu tempat yang sering aku kunjungi menyediakan bahan bacaan berupa koran, majalah, bahkan buletin dan bentuk kecil berupa brosur, sehingga mengunjungi tempat tersebut tidak menjadi membosankan.

Bahkan untuk tempat cuci motor pun aku mencari yang menyediakan bahan bacaan untuk dibaca selama menunggu. Terkadang bila sempat aku membawa bahan bacaan sendiri saat mengunjungi beberapa tempat yang aku perkirakan akan cukup membosankan. Lumayan lebih berkualitas dalam menunggu daripada duduk terkantuk-kantuk ataupun berdiri terpegal-pegal.

Memang, seperti yang aku tulis di atas, seringnya sebuah tempat pelayanan lebih mengorientasikan kepada bagaimana cara para konsumennya mengantri daripada bagaimana cara para konsumennya mengisi waktu untuk mengantri. Padahal bila mereka menyediakan bahan bacaan minimal buletin saja, maka konsumen yang menunggu lebih merasa tenang dan tentunya sambil dapat informasi yang mungkin berguna. Tentu saja, pula, khususnya bagi mereka yang suka membaca dan mencari informasi.

Pernah punya pengalaman di rumah sakit tempat kerjaku sendiri, bagaimana sebenarnya kami dulu menyediakan bahan bacaan berupa koran harian bagi siapa saja yang berada di tempat. Namun sayangnya, koran-koran tersebut lebih sering berakhir dengan cara disobek-sobek ataupun dijadikan alas tidur bagi para penunggu pasien. Sehingga selanjutnya ada koran-koran yang tidak lengkap halamannya, tersobek-sobek, atau bahkan hilang tidak ada bekasnya.

Namun memang membaca tetap menjadi sesuatu hal yang penting, meskipun dilakukan untuk mengisi waktu menunggu tersebut. Karena bisa jadi hal-hal yang dibaca merupakan informasi yang bermanfaat, ataupun sekedar sebagai kegiatan pengusir kebosanan waktu tunggu. Setidaknya lebih bermanfaat daripada terkantuk-kantuk atau terpegal-pegal.