Arsip untuk Juli, 2013

Ada seorang teman yang penakut banget, tapi dia agak suka nonton film horor. Katanya sih karena dia terbawa cerita sehingga dia lebih memilih meneruskan ceritanya daripada penasaran karena momen inti ceritanya dia lewatkan. Sering kalo film horornya ada hantu-hantunya dia nonton dengan mata ditutup, atau menundukkan kepala, pokoknya jangan sampai ngelihat sosok hantunya, soalnya katanya kalo habis nonton film-film kaya gitu lebih sering terbayang-bayang. Tapi dengan begitu dia jadi nggak ketinggalan cerita film tersebut sampai habisnya.

Pernah suatu ketika dia kecanduan riddle horor, yaitu cerita-cerita horor yang misterius dan penuh teka-teki. Dalam beberapa hari dia membaca beberapa riddle horor, dan di setiap malam harinya dia sering paranoid sendiri karena pengaruh riddle horor yang dibacanya. Tapi nyatanya dia sendiri nggak bisa menghentikan kegemaran itu, karena menurutnya tiap-tiap riddle tersebut memiliki cerita di baliknya yang sangat membuatnya penasaran untuk terus mengikuti pembahasannya, meskipun ternyata cerita di balik riddle tersebut bisa lebih mengerikan dan menakutkan daripada riddle itu sendiri.

Dan ternyata rasa penasaran itu bisa mengalahkan rasa takut. Seperti temanku tadi, ketakutannya akan cerita-cerita misteri dan horor bisa dia kesampingkan (untuk sementara) demi memenuhi rasa penasarannya. Dan rasa penasarannya sangat sayang untuk dia tinggalkan dan dipotong begitu saja, karena rasa takutnya lebih mendominasi. Meskipun ada dampaknya di akhir, namun nyatanya terpenuhinya rasa penasarannya lebih memuaskan daripada mengumbarkan rasa takutnya.

Dalam hidup kita mungkin menghadapi banyak kemungkinan yang tidak bisa kita perkirakan sebelumnya. Ada beberapa jalan yang mungkin kita tempuh yang kemudian membuat jalan buntu atau menyulitkan kita, dan mungkin kita takutkan semua hal tersebut bisa terjadi nantinya. Namun ada kalanya rasa penasaran kita melewati jalan tersebut lebih besar untuk mendorong kita melewatinya, meskipun nantinya tetap saja kita mengalami kesulitan, namun paling tidak kita telah yakin benar bahwa apa yang kita putuskan pada saat melewati jalan tersebut adalah hal yang telah kita pikir benar-benar dan tidak perlu disesalkan.

Coba saja kalo kita menakutkan banyak hal dari beberapa jalan tersebut, kemudian kita nggak pernah melewatinya hanya karena mengkhawatirkan hal-hal yang belum terjadi. Kita nggak pernah tau ada apa di ujung jalan tersebut. Kita nggak pernah tau akan ada masa depan cerah di situ. Ataupun kita nggak pernah tau mungkin kita akan diuji di situ. Saat itu kesempatan masih 50:50, dan saat kita memutuskan untuk tidak melewatinya kita telah kehilangan 100% kesempatan kita. Sebaliknya saat melewatinya dengan resiko apapun, memenuhi rasa penasaran kita, kita akan mendapatkan 50% kesempatan meskipun kehilangan 50% yang lainnya.

Intinya semua pilihan itu penuh dengan resiko, dan tanpa keberanian kita untuk memenuhi rasa penasaran dan mengesampingkan rasa takut kita, kita nggak pernah tau pilihan mana yang tepat untuk kita.

bekerjaSeringkali kalo ditanya soal di mana aku kerja, jawabanku malah bikin orang bingung. Aku kan kerja di rumah sakit, tapi bukan sebagai dokter, perawat, bidan, atau juru masak. Aku ada di rumah sakit sebagai staf administrasi kantor. Nah, yang bikin bingung itu sebenarnya pola pikir orang-orang itu bahwa semua orang yang kerja di rumah sakit itu pasti dokter, kalo nggak perawat, atau kalo nggak bidan. Atau kalo nggak muncul pertanyaan baru, ‘Emang di rumah sakit ada kantornya juga ya?’. Ini gimana sih, kalo rumah sakit nggak ada kantornya, terus yang ngurus administrasi dokter semua, yang ngasih gaji perawat, atau yang nganter-nganter surat ke sana ke mari itu bidan, gitu, atau gimana nih mintanya? Kok jadi aku yang sewot sih? 😀

Ah, sudahlah, kita tinggalin aja pertanyaan yang sebenarnya konyol, tapi mencerminkan pola pikir masyarakat tentang rumah sakit sebagai instansi spesifik, atau mungkin di tempat-tempat lain yang seperti itu. Kaya di bengkel, dikiranya pasti semua yang kerja di bengkel itu montir, padahal kan ada juga staf administrasinya. Atau di sekolah, dikiranya semua yang kerja di situ pasti guru, terus apa penjaga kebunnya juga guru, kan nggak gitu juga. Kita harusnya lebih memperluas pola pikir bahwa di tempat kerja yang spesifik seperti rumah sakit, bengkel, atau sekolah seperti tadi juga ada beberapa profesi lain yang mungkin nggak ada hubungannya sama sekali dengan bidang instansi tersebut, tapi juga diperlukan.

Coba bayangkan (tapi jangan lama-lama ngebayanginnya), kalo di rumah sakit nggak ada staf kebersihannya, apa terus dokternya sendiri yang nyapu? Makanya sering disebut bahwa sebuah tempat kerja yang bersifat spesifik atau homogen itu sebenarnya adalah heterogen, padat karya, dan padat profesi. Ada bermacam-macam profesi yang dibutuhkan karena tempat kerja seperti rumah sakit nggak hanya tentang kesehatan aja. Atau sekolah itu nggak hanya tentang belajar mengajar aja.

Makanya, kalo aku sering dapat pertanyaan dan kebingungan seperti di atas, wajar aja, terutama kalo pikiran penanyanya udah diisi konsep bahwa rumah sakit hanyalah tempat kerja tenaga kesehatan aja. Padahal nggak semua bidang di dalam rumah sakit itu bisa dikerjakan oleh tenaga kesehatan. Ada bidang-bidang non medis yang juga perlu dikerjakan oleh tenaga non medis juga. Singkatnya, setiap bidang yang berbeda itu harus diserahkan kepada tenaga yang lebih menguasai masing-masing bidang itu juga, selain agar tidak terjadi kesulitan dalam pekerjaan nantinya, juga ada sebuah pembagian tugas dan penugasan staf yang benar dan tepat.

bekerjaAku pernah bekerja di tiga tempat sekaligus! Hal ini sering aku ceritakan saat ada teman-teman yang kerjanya hanya di satu tempat tapi mengeluhnya udah kaya kerja 24 jam nggak ada istirahatnya. Bukan bermaksud pamer atau menyombong sih, tapi hanya sebagai bahan pemikiran untuk menyadarkan bahwa setiap orang yang mengalami kesulitan atau masalah, terutama dalam hal pekerjaan, ada orang lain yang mengalami kesulitan atau masalah lebih dari dirinya sendiri. Kalo kerja satu tempat saja dia sudah mengeluh nggak karuan, gimana yang menjalani kerja di tiga tempat?

Terus gimana tuh sebenarnya cara menjalani kerja di tiga tempat? Satu hal yang aku rasakan adalah sulit. Sulit menyesuaikan jadwal kerja, terutama karena tempat kerjanya saling berjauhan satu sama lain. Pekerjaan utamaku sebagai staf administrasi kantor di rumah sakit, tentu saja yang paling diutamakan. Dan untungnya ngantor yang ini selalu masuk pagi terus.

Jam tiga ada jadwal lagi, juga ngurus administrasi kantor dan beberapa hal lain yang berkaitan, di sebuah klinik. Ini sebenarnya sulit, selain jarak klinik ini sekitar 15 km dari rumah sakit, sering sekali aku nggak bisa cepat-cepat meninggalkan rumah sakit karena kerjaan yang belum selesai. Jadinya sering nyampai klinik udah jam empat, atau jam lima, atau bahkan sering juga ijin karena nggak bisa ninggalin keperluan. Di klinik ini jadwal pulangnya sebenarnya jam tujuh, tapi sama dengan yang di rumah sakit, sering ada kerjaan yang belum bisa ditinggal sehingga sering molor pulangnya.

Jam berikutnya agak longgar. Aku ada jadwal kerja di sebuah tempat servis dan kursus komputer. Sebenarnya tempat ini dekat dari rumahku, tapi dari klinik ke servisan ini sekitar 20 km, sehingga siklusnya melewati klinik dulu. Di sini kalo pas lagi sepi kerjaan, jam sepuluh malam udah bisa pulang. Tapi kalo nggak, misalkan masih nanggung gitu, ya sampai selesai atau sampai bosan karena nggak selesai-selesai.

Nah, kalo masalah jarak, dari rumah ke rumah sakit sekitar 10 km, dari rumah sakit ke klinik sekitar 15 km, dari klinik ke servisan sekitar 20 km, dari servisan ke rumah sekitar 200 m. Kalo ditotal sekitar 45 km lebih 200 m, atau bisa lebih dari itu. Tiap hari kerja ya siklus kerjanya muter begitu-begitu aja, tapi aku menikmati aja. Aku lebih merasakan kerja yang diselingi dolan-dolan, soalnya dengan jarak segitu, dari pagi sampai malam nggak putus, kalo nggak dinikmati malah jadi beban aja.

Makanya, buat yang kerja di satu tempat aja tapi rasanya udah kaya kerja keras 24 jam tanpa henti, kalo memang nggak bisa menikmati kerjanya, setidaknya juga perlu berpikir bahwa nggak kerja itu juga nggak enak lo. Udah dapat kerja (meskipun mengeluh terus) ya diusahakan dinikmati aja, tetap nyantai tapi nyerius, dan juga meniatkan kerja sebagai ibadah, agar kerja kita nggak sia-sia karena termakan keluhan terus.