Posts Tagged ‘konyol’

bekerjaSeringkali kalo ditanya soal di mana aku kerja, jawabanku malah bikin orang bingung. Aku kan kerja di rumah sakit, tapi bukan sebagai dokter, perawat, bidan, atau juru masak. Aku ada di rumah sakit sebagai staf administrasi kantor. Nah, yang bikin bingung itu sebenarnya pola pikir orang-orang itu bahwa semua orang yang kerja di rumah sakit itu pasti dokter, kalo nggak perawat, atau kalo nggak bidan. Atau kalo nggak muncul pertanyaan baru, ‘Emang di rumah sakit ada kantornya juga ya?’. Ini gimana sih, kalo rumah sakit nggak ada kantornya, terus yang ngurus administrasi dokter semua, yang ngasih gaji perawat, atau yang nganter-nganter surat ke sana ke mari itu bidan, gitu, atau gimana nih mintanya? Kok jadi aku yang sewot sih? 😀

Ah, sudahlah, kita tinggalin aja pertanyaan yang sebenarnya konyol, tapi mencerminkan pola pikir masyarakat tentang rumah sakit sebagai instansi spesifik, atau mungkin di tempat-tempat lain yang seperti itu. Kaya di bengkel, dikiranya pasti semua yang kerja di bengkel itu montir, padahal kan ada juga staf administrasinya. Atau di sekolah, dikiranya semua yang kerja di situ pasti guru, terus apa penjaga kebunnya juga guru, kan nggak gitu juga. Kita harusnya lebih memperluas pola pikir bahwa di tempat kerja yang spesifik seperti rumah sakit, bengkel, atau sekolah seperti tadi juga ada beberapa profesi lain yang mungkin nggak ada hubungannya sama sekali dengan bidang instansi tersebut, tapi juga diperlukan.

Coba bayangkan (tapi jangan lama-lama ngebayanginnya), kalo di rumah sakit nggak ada staf kebersihannya, apa terus dokternya sendiri yang nyapu? Makanya sering disebut bahwa sebuah tempat kerja yang bersifat spesifik atau homogen itu sebenarnya adalah heterogen, padat karya, dan padat profesi. Ada bermacam-macam profesi yang dibutuhkan karena tempat kerja seperti rumah sakit nggak hanya tentang kesehatan aja. Atau sekolah itu nggak hanya tentang belajar mengajar aja.

Makanya, kalo aku sering dapat pertanyaan dan kebingungan seperti di atas, wajar aja, terutama kalo pikiran penanyanya udah diisi konsep bahwa rumah sakit hanyalah tempat kerja tenaga kesehatan aja. Padahal nggak semua bidang di dalam rumah sakit itu bisa dikerjakan oleh tenaga kesehatan. Ada bidang-bidang non medis yang juga perlu dikerjakan oleh tenaga non medis juga. Singkatnya, setiap bidang yang berbeda itu harus diserahkan kepada tenaga yang lebih menguasai masing-masing bidang itu juga, selain agar tidak terjadi kesulitan dalam pekerjaan nantinya, juga ada sebuah pembagian tugas dan penugasan staf yang benar dan tepat.

sakitDulu aku pernah mengucapkan doa yang konyol tapi tulus. Bukan doa sih tepatnya, hanya sebatas ujaran saja. Ceritanya suatu ketika keluarga adikku dari Bekasi datang ke Kediri. Mungkin karena kombinasi antara cuaca yang berbeda ditambah dengan suasana di dalam bis selama perjalanan, anaknya yang keponakanku itu jadi kena flu. Melihat bayi usia enam bulan sakit tanpa bisa ngapa-ngapain, tentu saja bikin siapa saja yang menyayanginya iba dan kasihan. Dan aku, karena pengen dia kembali normal dan nyaman, kemudian secara spontan berujar bahwa kalo saja aku yang merasakan sakitnya maka akan lebih baik, karena aku lebih bisa dan tahu bagaimana mengatasi sakitnya.

Mungkin secara spontan atau tidak sengaja (atau mungkin juga sengaja), jika ada orangtua yang anaknya masih bayi atau balita sakit, permohonan seperti itu yang terlontar di dalam doanya. Karena kasihan melihat mereka yang sakit tanpa tahu bagaimana mengatasinya, orangtua pun berharap bahwa sebaiknya sakitnya digeser ke dia, atau ditukar dengan kesehatan mereka. Padahal kalo dipikir, permohonan seperti itu bisa dibilang adalah permohonan yang ‘egois’, di mana orangtua hanya memikirkan diri sendiri daripada anaknya.

Kok bisa begitu? Misalnya saja seorang ibu, yang bayinya berusia 6 bulan sakit flu, sehingga rewel dan menangis terus menerus. Kemudian ibu tersebut berdoa agar penyakitnya dipindah ke dirinya. Kalo hitungannya doanya dikabulkan, ibu tersebut sakit, dan kemudian anaknya sembuh, terus kemudian bagaimana ibu tersebut akan mengurus anaknya yang sehat sedangkan dia dalam keadaan sakit. Kalo dia memaksa mengurus anaknya, dan anaknya bisa kena resiko tertular, maka itu adalah sebuah kerepotan baru.

Itu kalo hitungannya doa ibu tadi dikabulkan dan sakitnya berpindah. Tapi bisa jadi malah keduanya sakit. Ibunya ikut sakit sedangkan anaknya nggak sembuh juga. Jadi kedua-duanya sakit dalam waktu yang bersamaan. Maka juga akan menimbulkan sebuah kerepotan baru yang berganda.

Makanya, memang berdoa untuk kejelekan itu tidak dianjurkan, bahkan bila kejelekan itu ditujukan untuk diri sendiri. Seharusnya yang dipermohonkan dalam doa orangtua untuk anaknya adalah doa kesembuhan anaknya, bukan doa ‘pengalihan penderitaan’. Dengan kesembuhan untuk semuanya, maka tidak ada kerepotan baru yang timbul karena ada salah satu yang sakit. Sang anak bisa bermain dan beraktifitas seperti biasanya, demikian juga dengan sang ibunya, bisa beraktifitas dan mengurus anaknya dengan normal pula. Semua sehat, semua bahagia…!

Dan entah karena tadi ujaranku dikabulkan ataukah kebetulan tertular, aku pun ‘berhasil’ sakit. Tapi sayangnya, bukannya karena ‘pergeseran’ sakit, karena keponakanku masih tetap sakit. Dan akhirnya, aku sendiri yang mendapatkan kerugian, karena sekitar dua hari berikutnya aku tidak bisa menemaninya bermain-main. Untungnya aku ‘hanya’ pamannya, yang nggak setiap saat bersama dia, sehingga ibunya yang sehat masih bisa mengurusnya dengan baik.