Posts Tagged ‘lampu lalu lintas’

Ada seorang ibu dan anaknya lagi duduk-duduk di tepi trotoar sambil makan jajanan. Saat si anak sudah menghabiskan makanannya, dia bertanya kepada ibunya di mana dia harus membuang bungkus jajanannya tadi. Ibunya memberitahu untuk membuang saja di bawahnya begitu saja. Si anak itu pun menurut. Dan selanjutnya, mungkin si anak tidak perlu bertanya lagi di mana harus membuang sampahnya.

Ada pula anak yang makan jajanan di dalam mobil yang sedang melaju di jalan. Saat selesai makan, dia pun bertanya kepada orangtuanya di mana tempat membuang sampahnya. Orangtuanya memberitahu untuk membuang ke luar lewat jendela mobil begitu saja. Dan mungkin, selanjutnya si anak tidak perlu bertanya lagi ke mana dia harus membuang sampah berikutnya.

Sebuah kebiasaan (yang mungkin juga disadari oleh orang Indonesia sendiri) bahwa orang Indonesia sering buang sampah sembarangan. Tapi sebenarnya itu salah! Karena orang Indonesia selalu membuang sampah di tempatnya, hanya saja bagi kebanyakan orang Indonesia semua tempat itu adalah tempat sampah, jadi sampah boleh dibuang di mana-mana.

Gagal paham bukan merupakan penyakit, tapi bisa menular dan bisa menurun. Kita lihat saja sekarang, ada seseorang yang merokok di depan tanda ‘Dilarang Merokok’. Jika ada satu orang saja bersama dia, kemudian ikut merokok karena berpikir bahwa berarti merokok di situ tidak apa-apa, maka orang pertama tadi telah menularkan kegagalpahamannya. Atau ada seseorang yang tidak mau berhenti di perlintasan lampu lalu lintas, maka orang di belakangnya bisa ‘tertular’ dan ikut tidak berhenti.

Perilaku yang semacam ini seakan mengesampingkan fungsi akal dan panca indera, berganti dengan kepuasan pribadi semata. Tanda ‘Dilarang Merokok’, atau lampu merah, atau rambu-rambu lalu lintas, tentu dipasang bukan untuk diabaikan, tapi sebagai instruksi yang harus ditaati. Tapi seolah orang-orang tadi tidak mau mengindahkan instruksi-instruksi tadi, seakan-akan mereka merokok bukan melalui mulut, tapi melalui mata.

Gagal paham yang seperti ini terlalu lazim di kehidupan kita pada saat ini. Padahal kita bisa menghindari kegagalpahaman ini. Kita juga masih sangat berkesempatan mencetak dan menurunkan generasi penerus yang bebas dari gagal paham tersebut. Tentunya bergantung pula dari bagaimana kita memperbaiki kualitas hidup pribadi dalam kehidupan kita ini. Jangan sampai kepuasan pribadi menutup akal dan hati kita dari kebenaran dan malah menjerumuskan kita ke arah kufur nikmat. Sehingga generasi kita selanjutnya bisa mencontoh dari kita bagaimana menjalani kebiasaan yang sehat dan bebas dari hal-hal yang bisa mengotori kualitas perilaku (setidaknya) garis keturunan kita nantinya.

Setidaknya kita memulai dari diri kita sendiri, dan setidaknya ada sesuatu yang bisa kita ubah dari kehidupan singkat kita ini. Sehingga bisa jadi suatu saat, seperti halnya gagal paham tadi, perubahan kebiasaan tersebut bisa menular kepada orang lain. Sebisa mungkin menjelang tidur kita bertekad bahwa besok kita harus mengalahkan seseorang. Besok kita harus lebih baik dari seseorang. Siapakah orang itu? Yaitu diri kita sendiri pada hari ini.

Bagian Pertamanya

Suatu hari, di sebuah persimpangan jalan. Sedang berhenti karena lampu lalu lintas menyala merah. Tiba-tiba dari samping ada orang yang dengan tanpa merasa bersalah terus berjalan tanpa berhenti. Nggak seberapa lama kemudian lampu udah menyala hijau, dan nggak sampai 500 meter kemudian aku udah mendahului orang yang menerobos lampu lalu lintas tadi.

Kalo begitu apa istimewanya menerobos lampu lalu lintas kalo ternyata nggak bikin lebih cepat daripada orang-orang yang berhenti? Nggak beda jauh dengan kendaraan-kendaraan lain yang lebih memilih berhenti. Padahal berhenti di lampu merah itu juga nggak lama lo, nggak sampe satu jam lamanya. Jadi merasa kasihan orang yang nggak berhenti tadi karena nggak bisa membedakan warna, lebih merasa kasihan kepada guru-guru sekolahnya yang mengajarkan berbagai jenis warna yang berbeda, lebih merasa kasihan lagi kepada orangtuanya yang membiayai sekolahnya agar bisa menjadi orang yang berguna.

Apalagi kalo lampu merahnya ada penghitung waktu mundurnya. Yang jadi patokan bukan lagi warna lampunya, tapi angkanya. Kalo udah mau angka 1 muncul aja udah pada keburu ngegas aja, padahal lampunya juga belum ganti warnanya.

Eits, tapi ini bukan karena masalah buta warna atau nggak bisa membedakan warna. Ini masalah moral individual, dan masih ada hubungannya dengan idealisme di jalanan. Urusannya bukan lagi dengan guru sekolah atau orangtua, tapi lebih kepada Sang Maha Pencipta, yang menganugerahi manusia untuk bisa berpikir dan membedakan antara yang baik dan yang buruk.

Sering pula yang patuh dan taat peraturan menjadi korban. Pelakunya tidak lain siapa lagi kalo bukan para pelanggar peraturan, si pelahap maut. Udah berhenti di lampu merah, eh malah yang lain nerobos dan nyerempet pula. Bisa jadi mereka berpikir kalo semua orang akan melanggar peraturan seperti mereka, apalagi kalo mereka bawa kendaraan yang gede-gede, yang setiap orang di jalanan harus minggir buat memberi mereka jalan. Karena itulah sering terjadi pemikiran masal, yaitu seseorang yang memikirkan sesuatu dan tanpa sadar orang-orang yang lain juga punya pemikiran yang sama.

Watak, sifat, sikap, dan perilaku memang sering menjadi pembawaan masing-masing individu. Tapi kalo hal-hal tersebut bisa diubah ke arah yang lebih baik dan tidak membahayakan orang lain, harusnya diubah juga. Dan nggak setiap orang yang tidak mau berubah, akan ada orang-orang yang tidak mau terus menerus ‘terperangkap’ dalam ketidakpatuhan tersebut.