Posts Tagged ‘jalan raya’

jalanSedang melewati sebuah jalan kecil, kemudian melihat sebuah tanda pengalihan jalan di sebuah persimpangan. Ternyata di jalan tersebut ada seorang penduduk yang mengadakan hajatan, yang memerlukan penutupan jalan. Padahal sejak kemarin jalan ini juga udah ditutup, emang berapa hari ya hajatannya. Terpaksalah membelokkan motor melewati jalan kecil, daripada putar balik dengan jalan yang lebih jauh lagi. Belokan pertama, jalan makadam dengan jalur aman yang sempit di kiri kanannya. Belokan kedua, jalan berdebu di sepanjang jalan dan nyaris nggak ada jalur aman buat dilewati. Belokan ketiga, jalan yang cukup aman tapi sedang dibangun makadam di ujung jalannya.

Sering banget menemui hal tersebut selama berkendara, terutama di lingkungan jalan yang lebih kecil. Kalo jalan raya sangat jarang yang demi berhajat harus menutup ruas jalan secara keseluruhan. Meskipun pernah ada tetangga rumah yang pejabat desa menutup jalan propinsi buat ngadain hajatan. Kondisi rumah yang kecil dengan pekarangan dan halaman yang sempit memaksa seseorang akhirnya me’luber’kan pestanya ke jalan. Dan pada akhirnya, pengguna jalanlah yang harus mengalah.

Kalo kondisi jalan yang udah dihapal sih nggak masalah. Masalahnya kalo belum pernah tau ada jalan lain yang bisa dilewati bisa-bisa nyasar-nyasar ke daerah-daerah yang malah nggak ada jalan menuju tempat tujuan. Pernah suatu ketika karena ada hajatan di jalan, harus belok ke jalan lain. Kalo jalannya sih udah tau arahnya, tapi karena penasaran pengen tau barangkali ada jalur lain yang lebih pendek, coba belok ke jalan kecil di tengah sawah. Eh nggak taunya jalan tersebut nggak mengarah ke jalan, tapi mengarah ke pabrik batu bata.

Sering juga saat ada orang yang sedang mengadakan hajatan udah memasang tanda di persimpangan jalan menuju rumahnya, tapi karena banyak pengguna jalan nggak peduli dan merasa ‘yakin’ kalo masih bisa dilewati, akhirnya tanda peringatan tersebut nggak digubris. Akhirnya saat tau kalo jalan benar-benar tertutup total, balik lagi deh cari jalan lain. Kalo masih naik motor, sepeda, atau jalan sih enak aja putar balik, kalo naiknya truk jadi bingung cari cara buat memutar.

Nggak tau juga gimana, tapi yang jelas emang hajatan bagi masyarakat bisa jadi nggak lagi sebagai sebuah peringatan atau perayaan semata, tapi juga bisa sebagai lambang tingkat kemakmuran atau kemampuan seseorang. Meskipun kenyataannya ada yang demi mengadakan hajatan seseorang rela menjual harta benda, atau meminjam uang ke sana ke mari, yang penting hajatan berlangsung. Dan menutup jalan tadi adalah salah satu akibatnya, kalo di salah satu jalan hanya ada satu orang yang hajatan sih nggak masalah, tapi kalo udah berjajar setiap rumah ngadain hajatan, yang repot tentu saja pengguna jalan.

Pengguna jalan sendiri juga berpikiran nggak mau tau siapa yang ngadain hajatan, yang diinginkan cuma mendapat kelancaran dalam berkendara, serta kenyamanan melewati jalanan. Bukan sebuah jalan berbatu atau jalan berdebu yang diinginkan. Namun itu semua juga tergantung pada masing-masing pihak bisa memahami dan menghargai satu sama lain.

halte bis busDenger sayup-sayup berita di televisi di sebuah pagi, sambil berbenah mau berangkat kerja. Beritanya tentang sopir-sopir angkutan umum yang berhenti di tempat yang tidak semestinya. Saat ditanya mengapa seperti itu terus saja dilakukan, para sopir tersebut hanya menjawab ‘karena penumpangnya banyak di situ’. Jadi inget dengan kejadian yang sering aku liat di sekitaran pertigaan atau perempatan lampu merah, di mana angkutan umum, terutama bis, terkadang menjadi penyebab utama kemacetan yang terjadi di kawasan itu. Masalahnya bis tersebut berhenti di sebelah luar lampu merah, di mana jalur tersebut seharusnya menjadi jalur para pengguna jalan untuk melewati dan menjauh dari lampu merah. Tetapi karena ada bis di situ, jalur dari arah yang sama dengan bis tadi menjadi terhambat karena jalan raya yang sempit tidak muat untuk kendaraan lain bisa menyalip bis tersebut.

Dan tentu saja akibatnya antrian panjang pun terjadilah, bahkan bagi beberapa kendaraan di barisan belakang mereka harus berhenti lagi karena lampu udah keburu merah lagi. Kalo dari jalur antrian tersebut bis tidak berada di depan kemungkinan arus lalu lintas juga tetap lancar saja. Dan kejadian ini tidak hanya terjadi di satu tempat saja, di beberapa tempat (bahkan seperti yang di televisi tadi meskipun penyebabnya berbeda).

Alasan ‘karena penumpangnya banyak di situ’ memang sebuah alasan utama bagi para sopir. Mereka tentu saja mencari peluang dan prospek di mana titik penumpukan penumpang sering terjadi sehingga pastinya tempat itu akan menjadi hot spot bagi mereka untuk menaikkan penumpang ataupun menurunkan penumpang. Bahkan tidak peduli dengan apapun, termasuk mungkin ada tanda atau rambu dilarang berhenti di situ. Tapi apakah hanya para sopir saja yang patut disalahkan di sini?

Tentu saja tidak demikian. Ada akibat tentu juga ada sebab. Kita juga harus beralih dengan analisa pada pihak lain, dalam hal ini penumpangnya. Karena persamaan pola pikir, para penumpang ini menganggap bahwa sebuah tempat tersebut adalah tempat yang baik untuk mencegat angkutan umum. Faktor tempat strategis, ditambah lagi dengan kebiasaan para sopir yang salip menyalip dan kebut-kebutan membuat penumpang harus mencari tempat yang dirasa cukup pantas bagi anggapan mereka di mana angkutan umum tersebut bisa berhenti tanpa mengganggu kegiatan kebut-kebutan mereka.

Pertanyaannya lagi, lalu siapa yang lebih pantas disalahkan? Mungkin tidak ada yang perlu dipersalahkan, yang perlu adalah kesadaran dari masing-masing pihak. Para penumpang harus menyadari dan mengerti bagaimana tempat yang lebih tepat untuk mencari kendaraan angkutan umum, dengan memperhatikan peraturan dan keadaan lalu lintas yang ada. Para sopir angkutan pun juga harus memperhatikan hal yang sama. Kita harus benar-benar menunjukkan bahwa meskipun keadaan memaksa demikian, namun kita semua harus menjadi orang-orang yang bisa berpikir.

Terkadang di jalanan semua orang berpikir bahwa semua orang di jalan itu salah, kecuali dirinya sendiri. Dan sekali lagi, karena keseragaman pola pikir, maka setiap orang juga berpikir demikian. Kalo hanya satu dua orang saja yang menyadari hal-hal seperti ini mungkin tidak akan ada pengaruhnya sama sekali untuk semua, tapi setidaknya menghindarkan diri dari kufur nikmat adalah hal yang lebih utama di jalanan.