Posts Tagged ‘orangtua’

sakitDulu aku pernah mengucapkan doa yang konyol tapi tulus. Bukan doa sih tepatnya, hanya sebatas ujaran saja. Ceritanya suatu ketika keluarga adikku dari Bekasi datang ke Kediri. Mungkin karena kombinasi antara cuaca yang berbeda ditambah dengan suasana di dalam bis selama perjalanan, anaknya yang keponakanku itu jadi kena flu. Melihat bayi usia enam bulan sakit tanpa bisa ngapa-ngapain, tentu saja bikin siapa saja yang menyayanginya iba dan kasihan. Dan aku, karena pengen dia kembali normal dan nyaman, kemudian secara spontan berujar bahwa kalo saja aku yang merasakan sakitnya maka akan lebih baik, karena aku lebih bisa dan tahu bagaimana mengatasi sakitnya.

Mungkin secara spontan atau tidak sengaja (atau mungkin juga sengaja), jika ada orangtua yang anaknya masih bayi atau balita sakit, permohonan seperti itu yang terlontar di dalam doanya. Karena kasihan melihat mereka yang sakit tanpa tahu bagaimana mengatasinya, orangtua pun berharap bahwa sebaiknya sakitnya digeser ke dia, atau ditukar dengan kesehatan mereka. Padahal kalo dipikir, permohonan seperti itu bisa dibilang adalah permohonan yang ‘egois’, di mana orangtua hanya memikirkan diri sendiri daripada anaknya.

Kok bisa begitu? Misalnya saja seorang ibu, yang bayinya berusia 6 bulan sakit flu, sehingga rewel dan menangis terus menerus. Kemudian ibu tersebut berdoa agar penyakitnya dipindah ke dirinya. Kalo hitungannya doanya dikabulkan, ibu tersebut sakit, dan kemudian anaknya sembuh, terus kemudian bagaimana ibu tersebut akan mengurus anaknya yang sehat sedangkan dia dalam keadaan sakit. Kalo dia memaksa mengurus anaknya, dan anaknya bisa kena resiko tertular, maka itu adalah sebuah kerepotan baru.

Itu kalo hitungannya doa ibu tadi dikabulkan dan sakitnya berpindah. Tapi bisa jadi malah keduanya sakit. Ibunya ikut sakit sedangkan anaknya nggak sembuh juga. Jadi kedua-duanya sakit dalam waktu yang bersamaan. Maka juga akan menimbulkan sebuah kerepotan baru yang berganda.

Makanya, memang berdoa untuk kejelekan itu tidak dianjurkan, bahkan bila kejelekan itu ditujukan untuk diri sendiri. Seharusnya yang dipermohonkan dalam doa orangtua untuk anaknya adalah doa kesembuhan anaknya, bukan doa ‘pengalihan penderitaan’. Dengan kesembuhan untuk semuanya, maka tidak ada kerepotan baru yang timbul karena ada salah satu yang sakit. Sang anak bisa bermain dan beraktifitas seperti biasanya, demikian juga dengan sang ibunya, bisa beraktifitas dan mengurus anaknya dengan normal pula. Semua sehat, semua bahagia…!

Dan entah karena tadi ujaranku dikabulkan ataukah kebetulan tertular, aku pun ‘berhasil’ sakit. Tapi sayangnya, bukannya karena ‘pergeseran’ sakit, karena keponakanku masih tetap sakit. Dan akhirnya, aku sendiri yang mendapatkan kerugian, karena sekitar dua hari berikutnya aku tidak bisa menemaninya bermain-main. Untungnya aku ‘hanya’ pamannya, yang nggak setiap saat bersama dia, sehingga ibunya yang sehat masih bisa mengurusnya dengan baik.

Odong-Odong

Posted: 25 Februari 2012 in Pemikiran
Tag:, , , ,

Suatu ketika aku tertarik pada sebuah artikel dalam sebuah blog setelah sang pemilik blog mengisi komen di blogku. ‘Kesetiaan Tukang Odong-odong Pada Lagu Anak’ judul blognya, menceritakan bahwa tukang odong-odong adalah satu pihak yang paling setia memutar dan menyiarkan lagu anak-anak. Mungkin sebuah kalimat yang terkesan ironis, tapi mirisnya memang begitulah adanya yang terjadi di dunia nyata.

Yang aku amati sendiri dari lingkunganku, di Jalan Tamtama, jalan utama di desaku, di mana setiap sore sampai malam hari berjajar bapak-bapak tukang odong-odong, seolah dari mereka bersahut-sahutan lagu anak-anak menyuara seiring berputarnya becak goyang mereka menghibur anak-anak yang sedang naik di atasnya. Berdampingan dengan alunan lagu-lagu Sagita yang disetel oleh para penjual VCD di jalan yang sama. Lagu anak-anak masih sangat tepat untuk menemani anak-anak kecil dengan tawa-tawa riang mereka menaiki wahana hiburan murah meriah tersebut.

Berlawanan dengan apa yang terjadi di malam takbiran Idul Adha kemarin. Sebuah mobil bak terbuka, berisi anak-anak kecil yang seharusnya mengumandangkan kalimat takbir, tahmid dan tahlil dalam rangka menyambut hari raya keesokan harinya, tapi yang berkumandang malah lagu ‘Hamil Duluan’ yang dinyanyikan serempak tanpa cela oleh anak-anak kecil tersebut. Orang-orang dewasa yang ada di mobil pun seolah tidak memprotes apa yang mereka lakukan, sehingga anak-anak tersebut merasa bahwa mereka tidak bersalah menyanyikan lagu tersebut.

Pergeseran budaya pasar, mengorbankan hak anak-anak untuk mendengarkan lagu-lagu yang sesuai bagi mereka. Jarang sekali lagu-lagu yang tersedia bagi mereka di media-media elektronik terutamanya. Ditambah pula, kurang sadarnya para orangtua menyediakan kaset atau VCD berisi lagu-lagu anak-anak di rumah. Anak-anak sekarang lebih suka mendengarkan lagu-lagu dewasa sebagai pengantar tidur daripada mendengarkan lagu-lagu yang bertema ‘kekanakan’ sebagai bekal pemikiran mereka. Bagi beberapa orangtua, anak-anak yang bisa nyanyi lagu dewasa terlihat lucu dan membanggakan.

Kalo bagiku sebenarnya ada satu lagi pihak yang masih setia dengan lagu-lagu anak-anak, yaitu para guru TK. Namun sayangnya TK hanya mempunyai waktu beberapa jam untuk mengisi pendengaran anak-anak dengan lagu-lagu mereka.

Rossi memboncengSepasang bapak dan ibu, beserta seorang anaknya, menaiki sebuah sepeda motor, mencapai sebuah perempatan lampu merah yang lampunya pas menyala warna merah. Di tiang lampu tersebut, terpampang jelas bagi mereka yang bisa membaca, ‘Belok Kiri Ikuti Isyarat Lampu’. Sang bapak sudah menghentikan motornya dan berhenti beberapa saat, tapi kemudian sang ibu berpendapat lain. Baginya tidak apa-apa menerobos lampu merah, toh juga mereka belok ke kiri. Dan akhirnya sang bapak melajukan motornya di saat semua orang masih berhenti karena mentaati peraturan di lampu merah.

Kejadian ini benar-benar terjadi beberapa bulan yang lalu, aku tahu persis karena aku berhenti tepat di samping kanan bapak itu. Saat kemudian sang bapak memutuskan untuk melajukan kendaraannya, satu hal yang terpikir di pikiranku adalah anaknya tadi. Sang anak telah menjadi saksi pelanggaran peraturan yang dilakukan oleh orangtuanya, betapa sebuah tindakan yang paling efektif untuk menanamkan kepada seorang anak kecil bahwa melanggar peraturan itu tidak apa-apa. Sebuah pelajaran kesalahan dan pengajaran moral tepat di depan matanya sendiri, yang dicontohkan oleh orangtuanya sendiri.

Maka jangan hanya menyalahkan lingkungan anak saat anak-anak didapati mendapat pengaruh buruk dan berperilaku tidak sepantasnya. Perlu juga ada instropeksi bagi para orangtua dalam bersikap dan berperilaku karena anak-anak juga pasti akan mencontoh mereka. Faktor lingkungan adalah pengaruh eksternal, maka faktor orangtua harus bisa lebih kuat daripada lingkungannya. Penanaman ide dan perilaku yang baik dengan kuat sejak anak masih kecil menjadi salah satu cara untuk membentengi anak dari pengaruh eksternal tadi.

Saat kemudian ada pelanggaran peraturan, aku hanya bisa bertanya-tanya bagaimana mereka dididik oleh orangtua mereka, atau bagaimana mereka mendidik anak-anak mereka. Memang aku belum pernah menjadi orangtua dan mengasuh anak-anak, tapi bagiku hal ini juga sangat penting, karena bisa jadi sikap dan perilaku anak adalah cerminan dari sistem pembinaan dan pengasuhan dari orangtua mereka sendiri.