Arsip untuk Oktober, 2012

anak bawangKarena badanku yang kecil dan sifat cengengku selama sekolah di Sekolah Dasar aku berperan sebagai ‘anak bawang’. Lalu apa tugas anak bawang itu? Pada dasarnya tidak ada, kecuali berperan sebagai pelengkap kalo ada kelompok yang kekurangan anggota, atau dipasang di depan kiper saat main sepakbola, atau pula sebagai sasaran tembak dalam permainan kasti, atau menjadi sasaran intimidasi lainnya. Dan karena nggak ada keberanian untuk melawan atau memberontak, maka peran itu terus dijalani sampai lulus SD.

Kalo sekarang lagi ingat masa-masa ‘kelam’ itu jadi merasa nggak enak sendiri. Bagaimana nggak, kalo dulu karena badanku yang kecil terus jadi bulan-bulanan teman-temanku, tapi sekarang bahkan aku sendiri berbadan lebih besar daripada kebanyakan teman-temanku itu. Tapi masa lalu ya biarlah berlalu, nggak perlu diingat-ingat lagi. Yang penting bagaimana sekarang hidup yang dijalani ini.

Tapi kalo diperhatikan, memang di setiap fase sekolah atau apapun selalu ada yang ‘diberi’ peran ‘anak bawang’, sebagai pelengkap penderitaan. Dijadikan bulan-bulanan, sasaran empuk kemarahan dan kekesalan, atau kalo pada saat diperlukan bisa jadi pelengkap kalo kekurangan anggota kelompok seperti aku tadi. Sengaja atau tidak sengaja, hampir dipastikan ada. Si ‘anak bawang’ nggak akan keliatan menonjol dibandingkan teman-teman lainnya.

Lalu apa sih perlunya? Sebenarnya masing-masing pihak ada keuntungan yang bisa didapatkan. Bagi seorang ‘anak bawang’, terutama saat diperlukan, mereka akan merasa mendapatkan sebuah ‘peran penting’ dalam suatu permainan. Dalam masa itu si ‘anak bawang’ juga bisa merasa bahwa dia sudah diterima dalam sebuah kelompok tertentu. Sedangkan bagi kelompok yang berlawanan, tentu saja ‘anak bawang’ adalah keuntungan untuk maksud-maksud seperti di atas tadi.

Dalam kasus yang aku alami sendiri, ternyata aku nggak selamanya jadi ‘anak bawang’. Karena beberapa perlakuan yang nggak mengenakkan bisa menjadi pembelajaran bagiku untuk lebih kuat lagi. Suatu contoh, ketika suatu saat menjadi sasaran empuk tembakan bola kasti, aku kemudian bisa belajar bagaimana cara menghindari tembakan bola kasti dengan baik. Mengamati arah datangnya bola, belajar gerakan yang aman untuk menghindari bola, atau bahkan berusaha membalikkan keadaan. Dan untuk yang ini aku bisa dibilang cukup berhasil.

Satu hal lagi, status ‘anak bawang’ juga nggak selalu merendahkan diri sendiri. Bisa menjadi sarana penyatuan sosial (asal nggak kelewatan), terutama (sekali lagi dalam kasusku) jika si ‘anak bawang’ adalah seseorang yang bersifat pendiam, tertutup, kaku, dan penakut, yang sudah pasti kesulitan mendobrak tembok kesetaraan sosial. Tentu saja tergantung pada bagaimana si ‘anak bawang’ itu menyikapinya, dan bagaimana kelompok memperlakukannya.

Cerita dalam Masa Sekolah Dasarku

Bagian Pertamanya

Suatu hari, di sebuah persimpangan jalan. Sedang berhenti karena lampu lalu lintas menyala merah. Tiba-tiba dari samping ada orang yang dengan tanpa merasa bersalah terus berjalan tanpa berhenti. Nggak seberapa lama kemudian lampu udah menyala hijau, dan nggak sampai 500 meter kemudian aku udah mendahului orang yang menerobos lampu lalu lintas tadi.

Kalo begitu apa istimewanya menerobos lampu lalu lintas kalo ternyata nggak bikin lebih cepat daripada orang-orang yang berhenti? Nggak beda jauh dengan kendaraan-kendaraan lain yang lebih memilih berhenti. Padahal berhenti di lampu merah itu juga nggak lama lo, nggak sampe satu jam lamanya. Jadi merasa kasihan orang yang nggak berhenti tadi karena nggak bisa membedakan warna, lebih merasa kasihan kepada guru-guru sekolahnya yang mengajarkan berbagai jenis warna yang berbeda, lebih merasa kasihan lagi kepada orangtuanya yang membiayai sekolahnya agar bisa menjadi orang yang berguna.

Apalagi kalo lampu merahnya ada penghitung waktu mundurnya. Yang jadi patokan bukan lagi warna lampunya, tapi angkanya. Kalo udah mau angka 1 muncul aja udah pada keburu ngegas aja, padahal lampunya juga belum ganti warnanya.

Eits, tapi ini bukan karena masalah buta warna atau nggak bisa membedakan warna. Ini masalah moral individual, dan masih ada hubungannya dengan idealisme di jalanan. Urusannya bukan lagi dengan guru sekolah atau orangtua, tapi lebih kepada Sang Maha Pencipta, yang menganugerahi manusia untuk bisa berpikir dan membedakan antara yang baik dan yang buruk.

Sering pula yang patuh dan taat peraturan menjadi korban. Pelakunya tidak lain siapa lagi kalo bukan para pelanggar peraturan, si pelahap maut. Udah berhenti di lampu merah, eh malah yang lain nerobos dan nyerempet pula. Bisa jadi mereka berpikir kalo semua orang akan melanggar peraturan seperti mereka, apalagi kalo mereka bawa kendaraan yang gede-gede, yang setiap orang di jalanan harus minggir buat memberi mereka jalan. Karena itulah sering terjadi pemikiran masal, yaitu seseorang yang memikirkan sesuatu dan tanpa sadar orang-orang yang lain juga punya pemikiran yang sama.

Watak, sifat, sikap, dan perilaku memang sering menjadi pembawaan masing-masing individu. Tapi kalo hal-hal tersebut bisa diubah ke arah yang lebih baik dan tidak membahayakan orang lain, harusnya diubah juga. Dan nggak setiap orang yang tidak mau berubah, akan ada orang-orang yang tidak mau terus menerus ‘terperangkap’ dalam ketidakpatuhan tersebut.